Sunday, February 20, 2011

Pertambangan, Hutan dan Jurusanku

Selamat Pagi...(sapaan yang tepat karena aku menulis ini pagi hari di ruanga Corporate Secretarys and Communication Seceretary Garuda Indonesia, Managemnt Building.
Aku ingin menulis dengan judul di atas sejak hari minggu dini hari saat aku menamatkan buku seri ke-4 Serial Anak-Anak Mamak, Eliana, by Tere-Liye. Ada cerita tentang pertambangan di novel ini yang sangat menginspirasi.

Sebelum aku belajar di Teknik dan Manajemen Lingkungan Program Diploma, IPB, aku sangat awam tentang Lingkungan secara menyeluruh dan khusus, yang aku tau hanya istilah Global Warming tanpa tau sejarahnya, akibat sebabnya, aku tau bahwa tidak boleh menebang hutan sembarangn karena akan meningkatkan polusi, erosi dan dapat mengakibatkan banjir dan hal-hal umum lainnya yang aku dapat dari berita, media cetak serta seminar-seminar yang pernah aku ikuti. 

Tetapi setelah aku mengikuti perkuliahan, aku jadi berpikir, mengapa pertambangan harus ada? sedangkan sudah sangat jelas itu merusak. Bukannya sangat indah bila kita hidup berdampingan dengan alam, hutan yag lebat, alam yang indah, gemercik air sebagai simfoni alam, serta kekayaan alam lainnya yang dapat mmenuhi kebutuhan setiap manusia. Tetapi itu semua bisa terbantahkan dengan alasan kemajuan negri ini. Dengan adanya pertambangan yang menyerap ribuan tenaga kerja, menghasilkan triliyunan rupiah atau mungkin lebih, kita dapat terus-menerus berusaha memajukan negri ini. Toh, memang Sumber Daya Alam itu tesedia, sangat sayang jika tidak dimanfaatkan. Entahlah, aku mendengar ini dari siapa, atau mengapa aku bisa menyimpulkan ini, yang pasti selama kuliah aku berkali-kali merubah pikiran ku, bertanya-tanya, dan sampai sekarang pun tidak terjawab.

Saat aku mengetahui bahwa teranyata banyak usaha pertamangan serta kebun kelapa sawit yang pemiliknya adalah orang asing, bukan asli Indonesia dan hasil tambang itu sendiri di ekspor ke luar negri. Rakyat Indonesia hanya menjadi tenaga kerja buruh, paling tinggi juga direktur (mungkin ini tidak benar, tapi ini yang ku dengar dan ku tau dari beberapa perusahaan). Lalu Indonesia? mendapat keuntungan, devisa dan lain-lain lah (sepenuhnya aku tidak mengerti distribusi keuntungan itu). Negara yang menerima memafaatkan hasil tambang itu untuk kemajuan negrinya dan Indonesia memanfaatkan keuntungan itu untuk kemajuan negrinya. Rakyatnya? masih saja sama, yang kaya tambah kaya, yang miskin tambah miskin. Bahkan ada negara asing yang sengaja membeli hasil minyak dari Indonesia hanya sebagai bahan cadangan jika suatu saat negara tersebut kekurangan bahan bakar. Wow!

Berdasarkan yang aku tahu, jika suatu pertambangan akan dibuka dan sumber tambang itu berada di atas lahan garap masyarakat sekitar, atau di dalam hutan, maka pihak tambang akan memusnahkan kebun masyarakat sekitar, akan membakar hutan, akan menebangi pohon-pohon yang ada, agar proses pertambangan berjalan lancar(ya iyalah, kalau masih ada pohon-pohon dan kebun, bagaimana bisa menambang?). Lalu masyarakat sekitarnya jadi berubah atau alih profesi, dari petani menjadi buruh. Buruh? Iya, karena petinggi lainnya diduduki sama orang-orang berpendidikan yang dianggap lebih pintar (anggapan kau saja itu orang tambang!) Yang jadi pertanyaaan? Jelas sudah bahwa Sumber Daya Alam yang dapat di tambang itu tidak akan ada selama-lamanya karena tergolong Sumber Daya Alam yang tidak dapat diperbaharui, lalu ketika proses dan usaha tambang itu selesai, apa kabar rakyat yang telah alih profesi itu?. This is a big question. Lalu aku mendapat jawaban dari pihak tambang "kita melakukan reklamasi(pemulihan lahan yang rusak), reklamasi itu kita lakukan dengan menanami tanaman yang dapat menjadi usaha kembali bagi masyarakat sekitar". Gampang sekali jawaban itu meluncur, yah, memang terdengar gampang, membayangkannya saja sepertinya mudah untuk dilakukan.

Petani adalah pekerja yang disiplin dengan dengan alam. Mereka bekerja sesuai kondisi alam. Tidak seperti buruh atau pekerja di sebuah perusahaan yang disiplin, masuk pagi pulang sore. Petani itidak melakukan itu, mereka bisa pergi siang ahari, sore hari atau bahkan malam hari untuk memusnahkan hama. Perubahan pola hidup saja sudah cukup merugikan mereka. Iming-iming uang membuat mereka terbujuk rayuan penambang itu, lalu menuruti saja dan mengamini pembukaan lahan tambang itu. Lalu lahan mereka dibeli dengan harga yang mungkin cukup tinggi (untuk perusahaan tambang yang sedikit punya hati) atau dengan harga murah (untuk perusahaan tamabng kurang ajar). Pola hidup mereka berubah, uang hasil jual lahan digunaka secara tidak terencana(memang ada perusahaan tambang yang juga menyediakan jasa manajemen keuangan bagi masyarakat yang mereka rugikan agar pengeluaran masyaarakt tersebut terarah, tidak ada ku rasa).

Kehidupan pun berubah, pergi pagi pulang sore. Sebagian yang tahan akan terus bertahan, sebagian yang tidak tahan, karena peraturan perusahaan bisa mendapatkan Surat Pemutusan Hubungan Kerja. Lalu nasib mereka? Keluarga mereka? Bah, panjang sekali urusan ini. Dulu mereka dapat memenuhi kebutuhan dapur dengan bertani tapi sejah alih profesi, kebutuhan dasar saja mereka harus beli. Uang hasil jual lahan semakin berkurang, tergoda teknologi, bukannya makin sedikit pengeluaran malah makin banyak. Belum lagi upah kerja yang tidak seberapa. Semakin sulit saja hidup mereka. 

Pertambangan selesai, Sumber Daya Alam sudah habis. Pengusaha angkat kaki. Lahan direklamasi(entah becus entah tidak, entah benar entah tidak) seberhasil-berhasilnya reklamasi itu tetap saja telah merubah alam yang dulu nya pasti lebih baik dari yang sedudah direklamasi. Apakah pekerjaan bertani mereka tetap seperti dulu? Entahlah. Aku belum pernah melihat langsung, tapi aku hanya membayangkan dari cerita-cerita yang ku dengar. 

Pihak tambang merasa, masyarakat pedesaan yang primitif tempat mereka melakukan penambangan mendapatkan kehidupan yang lebih baik  dengan modernisasi yang mereka berikan. Tapi apa itu yang mereka butuhkan? Yang kita inginkan bukan berarti yang kita butuhkan bukan? Apa mereka butuh punya motor sementara sepeda yang dulu mereka miliki juga bisa menghantarkan mereka kepada tujuan dan tidak akan menambah polusi. Apa mereka butuh berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan modern semsntara kebutuhan hidup bisa mereka dapatkan di toko klontong di simpang jalan menuju ke kota (tanpa harus ke kota), banyaknya tempat belanja tersebut mengajarkan masyakat menjadi konsumtif. Pada akhirnya uang dibelanjakan keperluan yang tidak perlu. Perubahan seperti itu kan yang kalian banggakan? Mengenalkan kemewahan? Hidup rakus merusak alam? 

Tapi perusahaan tambang yang menerapkan program Corporate Social Responsibility dengan membangun fasilitas pendidikan serta melengkapainya dengan saran dan prasaran? Okay, that's good. Tapi tetap saja itu tambang, MERUSAK. Susah untuk ku mentolerir itu.

Lalu mau kerja apa jika tidak tambang? Hey, banyak sejkali permasalahn di negri ini tidak selesai karena urusan Sumber Daya Manusia yang tidak ada. Contohnya saja guru Guru hanya banjir di kota, sedang pedesaan masih saja ada guru yang mengajar di dua kelas. Dari hasil hutan yang dipertahankan juga dapat diterapkan kebijakan ntuk menjual haisl, tentu dengan tidak merusak hutan itu. Dapat fokus dengan menmukan kemajuan-kemajuan teknologi, berkarya, atau apa sajalah. Rezki ALLOH berserak di bumi ini.

Sebelum tulisan ini menjadi semakin tidak jelas. Aku hanya kembali membayangkan. Bagaimana jika semua pertambangan yang dilakukan sesuai kebutuhan negri ini. Hutan-hutan dijaga. O ya, aku jadi teringat perkataan dosen ku. Orang yang merusak hutan itu selayaknya orang bodong yang mengatakan "untuk apa matahari? sebenarnya bulanlah yang lebih bermanfaat, dia menerangi malam yang gelap. Sedang siang sudah jelas terang, jadi matahari tidak berguna" . Sudah jelas sekarang kemana arah tulisan ini. (menurutku saja barangkali) Kenapa negri ini harus kerja keras memenuhi kebutuhan negri lain? Apakah memang kerja sama antar negri seperti ini? Tapi aku rasa kita terlalu berlebihan. Sampai sebegini rusaknya alam Indonesia. Apa memang harus sampai seperti ini modernisasi sebuah Negri? Apa tidak belebihan jika sebuah mall saling berhadap-hadapan, saling bersebelahan?

Tanpa diganggu, hutan dapat menghantarkan rusa ke rumah kita agar dapat langsung kita nikmati. Tanpa diganggu, sungai yang mengalir disekitar hutan dapat memperlihatkan ikan-ikan segar bergizi, udang-udang merah segar, hutan dapat memenuhi kebutuhan hidup kita semua. Meski tulisan ini hanya angan-angan belaka, hanya mimpi aku semata, tapi tidak berarti usaha perbaikan itu juga hanya mimpi. Aku juga tidak mampu bersumpah bahwa aku tidak akan bekerja di perusahaan tambang (apakah ini terkesan munafik?) Yah...kami alumni Teknik dan Manajemen Lingkungan bekerja diperusahaan tambang untuk bagian penanganan limbah, perbaikan lahan yang rusak, bagian tanggung jawab sosial kepada masyarakat dan Kesehatan KeselamatanKerja. Memang  ada pejaran tentang ini semua di jurusan ku. Lalu aku kembali bertanya. Kami D3 adah manusia yang disiapkan untuk siap kerja. Dengan mata kuliah yang kami pejari berarti kami disiapkan untuk perusahaan-perusahaan perusak dan penghasil limbah, begitu bukan? (oke-oke, perusahaan itu juga menguntungkan banyak orang, suka-suka aku ingin menyebutnya apa). Memang ada mata kuliah tentang konservasi, atau kami juga dapat menjadi ahli konservasi? Tapi tidak seberapa karena hanya dasarnya saja. Atau kami dapat menjadi tim Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, sebelum sebuah perusahaan dapat berdiri yang memang harus mengantongi dokumen itu?Entahlah, sampai sekarang saja aku bingung mau piliha bagian kerja yang mana. Tidak akan enak menjalani pekerjaan tanpa hati karena tidak suka. Bahkan aku sempat berpikir untuk menjadi guru saja. Aha, atau aku menjadi seorang pembela lingkungan? LSM mungkin? Ah nanti dulu lah. Draft TA ku saja belum selesai sampai sekarang.

Jadi apapun aku nanti, yang pasti ku inginkan adalah menjadi pekerja yang bermanfaat bagi umat. Aku tau rezki ALLOH berserakan dibumi ini, tinggal manusianya saja yang berusaha. Ada banyak pilihan di bumi ini. Tapi satu yang jelas. Baik dan buruk. Jalan baik cendrung melahirkan banyak kesulitan, seperti aku yang bingung harus memilih apa. Tapi aku punya pilihan jalan untuk membenarkannya. Aku dapat memperdalam ilmu lagi agar bekerja sesuai hati nurani. Meski mungkin akan ada kendalan saat aku meniti jalan. Tapi itu lah pilihan, itu lah akibat dari sebab pilihan dan itulah bagian rasa dari hidup.

Demikian tulisan pagi ini. Aku tidak bisa menyusun sistem baru menurut pendapat ku. Karena ilmu yang kumiliki jelas belum seberapa. Aku hanya dapat menyampaikan apa yang ku pikirkan, meskipun hanya untuk berandai-andai. Tidak mungkin yang telah terbentuk saat ini dapat berubah begitu saja untuk memperbaikinya. Tapi kita bisa dengan tidak menambah kerusakan atau memberi sedikit perbaikan. Semoga minoritas nurani untuk pelestarian bisa berubah menjadi mayoritas yang benar-benar tampak. Amin.
Salam Lingkungan.

No comments:

Post a Comment