Thursday, June 7, 2012

Cerita telinga

Telinga ini kadang bertanya dan bercerita.
Bisa aku mendengar suaramu? Bukan suara mereka yang menggema dalam pikiranmu kemudian menemui ku yang bosan dengan suara-suara itu. Kata-kata mu tak mampu redakan bosan ku. Bisakah ku dengar suaramu?

Bisakah ku dengar suaramu yang datang dari hatimu?Tak perlu kau sembunyikan luka mu lewat tawa palsumu. Aku tau kau merintih. Bisa kah ku dengar suara seseorang meredakan tangismu?Aku muak mendengar mu tergugu sendiri, hingga kau terlelap tidur. Aku lelah mendengar ini. Bisakah ku dengar suara orang lain meredakan mu?

Bisakah aku berhenti mendengar suara helaan panjang dari hatimu? Merasakan lirikan matamu menyapun bagian bawah pandanganmu, memejam sebentar lalu merasa seakan mendapat tenaga. Padahal masih bisa ku rasakan yang kau simpan. Bisakah aku berhenti mendengar itu?

Bisakah aku berhenti mendengar mu menghembuskan nafas panjang untuk mencegah buncahan air matamu, kala kau merasa belum saat berhenti tapi lingkunganmu sudah memberhentikan itu, dan kau tak mampu berbuat apa-apa. Bisakah aku mendengar itu beriring dengan kebahagiaanmu?

Dan semua kesakitan yang ku dengar itu, selalu kau obati dari suara ketikanmu. Karena saat itu aku merasakan kau benar-benar tersenyum.

Sembunyi

"Kalau sudah salah jangan berlagak benar dengan mencari-cari pembenaran. Mau di asingkan dunia kau ha?" Ko Ang menyulut batang rokoknya yang lusuh. Murahan.
"Aku tidak mencari pembenaran. Aku hanya tidak merasa salah dengan ini semua" Selly menjawab serius sambil terus membersihkan sepatu hak tingginya.
"Tetap saja pemikiran mu itu tidak dapat di terima." Ko Ang menikmati roko murahannya.
"Oleh mereka?Kenapa juga harus di terima. Aku ini hidup bukan untuk mereka" Selly berdiri tepat di depan Ko Ang, telah selesai membersihkan sepatunya.
"Tapi kau akan di asingkan Selly. Tak ada satu pun aturan di Negri ini yang bisa menerimamu" Ko Ang berhenti mengisap rokok murahannya, mejawab sambil meredakan kekagetannya oleh Selly yang berdiri tiba-tiba di depannya dengan wajah merah padam.
"Aku tidak membuthkan penerimaan mereka. Memangnya mereka sudah berbuat apa untuk aku ha!" Selly berteriak dari kamar mungilnya sambil sibuk menyiapkan diri.
Ko Ang hening.
"Koko bisa meninggalkan aku kalau sudah tidak tahan lagi dengan pengasingan mereka. Aku akan tetap menjalani hidup ku ini." Selly berdiri lagi di depan Ko Ang, dengan gaun ungu tanpa lengan, hanya menutupi sebagian paha dengan wangi parfum menyengat dan sepatu hitam serta polesan make up yang menor.
Ko Ang kembali terkejut "Koko di sini hanya untuk menemani mu, itu lah tugas Koko, jadi meskipun berat menerima pengasingan mereka. Ko Ang akan tetap denganmu. Karena ini tugas Ko Ang. Kalau kamu merasa tugasmu adalah mencintainya meski dengan semua perbedaaan dan keterasingan ini, ya sudah jalani saja. Ko Ang masih menjadi tugas Ko Ang. Baru berhenti kalau sudah mati nanti."
Selly menunduk menyembunyikan air matanya. "Sudah ribuan kali Ko Ang mengatakan ini."
"Ya karena ini tugas Ko Ang"
Ko Ang yang sudah menua tak pernah berhenti mengingatkan Selly akan ini. Dengan gaya yang sama. Dengan nada yang sama, tak pernah berubah. Selly pun masih menjawabnya, kadang dengan hanya menatap, kadang dengan nada biasa kadang marah, seperti malam ini. Selly tau, Ko Ang sangat menyayanginya. Sejak kecil tak pernah Ko Ang membiarkan Selly terluka. Baginya, hidup Selly dewasa adalah kebahagiaan, tidak menderita seperti ini. Selly tau ini yang membuat Ko Ang tak pernah memikirkan hidupnya, hanya tentang Selly. Karena sampai sekarang, Selly masih menderita, menurut Ko Ang. 
"Dan ini pun tugas Selly Ko" air mata itu masih hangat.
Selly menjalani kehidupannya dalam kepalsuan, bertindak sebagai seorang pencinta suci, dalam perbedaan yang paling mendasar, menulikan kuping, membutakan mata, mematikan hati, hanya untuk melindungi Koko terkasihnya. Jejak-jejak masa lalu Ko Ang telah menjerumuskannya dalam sebuah piutang yang tak akan mampu Ko Ang bayar dengan apapun yang dia miliki. Ini semua berawal dari ketidak tahuan Ko Ang dalam memulai bisnis. Hingga akhirnya sebuah penipuan yang hanya bisa di telannya. Selly lebih dulu mengetahuinya dan berusaha mati-matian untuk menutupinya agar Ko Ang tidak tahu. Seoalah bisnis itu masih berjalan. Bayaranya adalah dirinya.

Kehidupan ini kita jalani dengan tugas masing-masing. Semoga dapat terlesaikan sampai berhenti bernafas nanti. Dan terkadang ada hal yang tak perlu kita sampaikan, biarkan dia tersembunyi hingga mati.


K.I.T.A

Aku menangkap lelah mu dengan tinggi sensitifitas yang ku miliki. Sialnya sebagian hati ku ingin menangkan. Padahal jelas aku pun lelah dengan keengganan mu menaikan kadan sensitif mu. Kau pun masih mau membebani dirimu untuk sedikit berubah. Kita masih sama dengan rasa ini dalam kekurangan masing masing, dalam keluh kesah atas mu dan aku. Kita masih utuh saat bersama.

Aku tau logika tak bisa menerima ini. Para netral yang mendengar cerita ini mengusungkan untuk sebuah perpisahan. Adakah mereka tau suara hati kita menjerit? Meski aku dan kamu pernah mengucapkannya dan nyata tak mampu meyakinkan diri bahwa itu bukan keputusan yang hanya di peluk emosi.

Kita mampu mengerti tidak dalam kepalsuan. Mampu memahami lelah meski dengan marah. Mampu menahan sesak yang di perdengarkan tawa kita masing-masing. Aku telah menjadi aku , kamu pun begitu dan kita masih merasa utuh menjadi aku dan kamu.

Kadang ingin ku pertanyakan pada dunia. Memekikan peristiwa ini. Tapi undur, ku sadar kisah ini hanya menumpang pada bumi. Tak perlu berlagak dewa, berlagak paling benar, cukup di biarkan saja. Dan aku pun tau kau begitu. Menerima. 

Kamu yang mampu menerima ini begitu saja, dan aku yang tak lagi pernah mempertanyakan, menciptakan sedih dalam diam yang semakin memilukan. Pengertian kita melebihi pengertian untuk menerim kekurangan. Kita saling mendengar dalam diam, kau mampu mendengar hati ku, mampu mengerti pikiran ku dan ini bukan bagian bait puisi, ini yang terjadi pada kita. Aku pun mampu membatasi setiap gembira dan amarah. Kita bekerja sama dengan baik.

Mungkin kah ini ada batas waktunya?Selayaknya proyek? Entahlah...saat ini aku dan kamu masih menjadi KITA

Asing

Rapi aku susun cerita kita yang penuh perbedaan. Seketika teringat seketika air mata ini ingin jatuh, nafas menjadi semakin dalam, menenangkan diri sendiri. Entahlah apa yang kau pikirkan tentang ini, terkadang aku ingin sekali tau. Tapi tak ingin membebanimu juga hatiku.

Aku telah berhenti mencari pembenaran, aku telah berhenti mencari cari ujungnya, tetap tak bertemu. Samudranya adalah matamu, adalah dirimu, yang berada di dekatku, yang bernafas menghembus pelan pipiku, dan membiarkan waktu berjalan begitu saja. Tak tersesali.

Meski rapi ku susun cerita ini, tetap acak jalan kita. Pertemuan, kebersamaan, pertengkaran, perbincangan, semua tanpa rencana. Nafas-nafas malam menemani, tetes-tetes pagi menandakan hari dimulai menyimpan senyum kita. Adakah dunia tau?

Tak ada yang kita tepiskan, tak ada yang kita paksa menjadi benar. Tak ada yang kita persalahkan, perkataan apapun kita terima. Tanpa keluh, kita biarkan semua. Gusar, gemuruh dan kekhawatiran pun kebas. Setiap pertemuan dan jarak menjadi arti dan tak membebani.

Kita masih di sini, masih dalam cerita ini. Akan dunia mengasingkan cerita ini?Akan kah ini patah dan musnah dengan sendirinya oleh keegoisan kita yang nyatanya selalu mampu kita redam? Entahla. Kita masih sama-sama tertidur lelap. Perkaran nanti, aku dan kamu telah menyerahkan seutuhnya.


Ku Biarkan

Masih mengalun bait kesakitan itu, menancap setiap gerak gerik hari. Panas terasa menenggelamkan rindu dan cinta yang membaur dengan nafsu dan benci, semua telah menyatu. Teringat saat kita telanjang bersama, aku mengingat dan menerima mu dengan semua cela yang kau miliki. Kita menyatu bersama cinta dan nafsu, di balut keringat. Dan kini aku berkeringat marah saat mengingatmu.

Dunia telah menarikmu, menghancurkan janjimu, meremukan aku. Di sudut kamar busuk yang panas tergugu aku menangis di tinggalmu yang membenarkan keputusanmu begitu saja, seakan demikian lah cinta yang bisa datang dan pergi begitu saja. Kau jejali aku paham itu, masih logika tak terima itu. Entah sampai kapan.

Ikhlas, terima, entah kalimat kalimat manis macam apa lagi yang sudah mereka jejali dalam tubuhku. Muntah aku dalam tubuh ku menelan itu semua. Tetap tak berguna, perih ini senilai dengan tingginya cinta ku. Membuat tawa sering kali datang bersama air mata. Banyak kalimat baik ku telan untuk obati gemuruh ini, tetap saja datangnya pagi ku sesali.

Kau, yang dapat membuat ku tersenyum walau hanya dengan mengingatmu. Kini menjadi pembunuh , membuat ku terasing dalam keramaian. Meski ku tau, perempaun seperti ku tak sendiri, namun perih tetap tak berkurang. Meski ku yakin aku dapat berdiri sendiri. Kau tetap hadir sebagai pembawa perih.

Ku biarkan semua. Ku biarkan pagi ku sesak, ku biarkan mimpi ku gelap hanya berbayang, ku biarkan mulut ini mengatakan aku selalu baik-baik saja, ku biarkan mata ini tak mampu lagi menangis. Ku biarkan. Tanpa ucapan selamat tinggal aku terus berjalan ke depan.

Bagian menyakitkan ini, yang sayangnya di berikan oleh kau yang ku cintai, telah jadi lirik-lirik hidupku. Telah ku dengarkan, ku lafalkan dan ku hafalkan dan ku biarkan. Hatiku? Tak perlu ada yang tahu sekalipun aku. Biarkan Tuhan yang menyusunnya.

Mengalir begitu saja saat mengingat cerita seorang sahabat.