Tania merobek-robek kertas-kertas yang telah bersatu menjadi buku. Buku berisi kertas putih kosong yang telah ditulisnya semua cerita yang telah Tania dan Ari lewati bersama. Tania menulis semua aktivitas nya sehari-hari selama tidak bersama Ari. Buku ini akan menjadi hadiah untuk Ari di tahun ke lima mereka bersama. Empat tahun mereka berpisah karena masing-masing menuntut ilmu di tanah yang berbeda. Namun buku itu belum sampai ke tangan Ari dan Tani sudah membuatnya robek menjadi puzzle yang rumit.
Lama sobekan buku itu berhamburan di kamar Tania yang luas. Lama juga Tania hanya menatapnya nanar. "Masalah sialan!" pekiknya berkali-kali dalam hati. Hingga hari beranjak pergi menemui hari selanjutnya. Sudah pukul 1 dini hari dan Tania masih saja menatap nanar, sudah 12 jam berlangsung. Semua sms, telfon dan ketukan dari luar kamarnya diabaikan. Mama kerepotan memanjat lubang angin di atas pintu kamar Tania, demi memastikan anak kesayangannya masih bernafas. Masalah Tania yang bertahan bergeming sudah menjadi sesuatu yang biasa. Sejak berumur 5 tahun kalau Tania kesal dan sulit mengungkapkannya, Tania lama berdia di halaman rumah memperhatikan air dalam kolam ikan. Lupa segalanya. Setelah merasa cukup baru dia beranjak dan menceritakan semua ke Mama.
Namun Tania 20 tahun berbeda dengan Tania 5 tahun. Sudah hampir menjelang hari selanjutnya Tania masih saja diam dan menatapa nanar, posisi duduk pun tak berubah. Rasa sakit yang menerpa hatinya melebih rasa sakit tubuhnya. Entah kemana pergi rasa pegal akibat duduk tanpa bersandar dalam waktu lama, entah kemana rasa lapar dan kantuk. Seakan tak merasa apa-apa Tania bertahan dalam diamnya. Mama sudah tidak tahan dan memutuskan membuka kamar Tanian dengan kunci cadangan. Dengan kebiasaan Tania yang diam, Mama mewaspadainya dengan menyimpan kunci cadangan.
Mama hanya duduk diam disamping Tania, ikut menatap sobekan kertas itu.
"Dulu buku itu kamu buat dengan sabar. Tulisannya selalu rapi meskipun sebenarnya kamu benci menulis rapi. Tapi supaya bisa di baca kamu berusaha menulis dengan rapi Nak. Kemana-mana kamu bawa buku itu. Setiap ada kejadian yang menarik hati kamu, kamu catat. Sampai mama kesal karena harus mampir ke tempat makan hanya untuk menunggui kamu menulis. Kalau tidak sempat saat itu juga menulis, kamu menulisnya dulu di note Hp kamu. Setiap hari juga buku itu kamu baca ulang dan siapapun tidak boleh menyentuhnya. Bahkan untuk mengintip saja Mama gak boleh Nak" Akhirnya tangis Tania pecah.
"Buku itu sudah berumur 4 tahun. Sudah kamu jilid menjadi empat tumpukan. Jilid an yang kamu buat sendiri agar otomatis bisa selalu di tambah setiap bertambah tahun. Buku paling indah kepunyaan anak Mama yang pernah Mama lihat. Betapa beruntung nanti sang penerima buku itu." Mama menarik tubuh Tania untuk bersandar dipundaknya.
"Mama gak tau Nak, ada masalah apa diantara kalian berdua. Samapai kamu merusak benda yang sangat kamu sayangi. Tapi Mama tau hati kamu sangat sakit. Kamu gak pernah diam selama ini." Mama menggenggam tangan Tania yang terasa hangat.
"Mama minta sedikit rasa sakitnya ya Nak? Boleh ya?" Tania pingsan.
Tiga hari Tanian berada di bawah perawatan Mama. Sebagai sarjana keperawatan Mama tidak perlu dokter untuk merawat Tania yang sakit akibat lelah karena sakit hatinya. Tania hanya butuh obat untuk jiwanya.
Mama tidak berusaha bertanya apa yang menimpa Tania, Mama bersikap seperti biasa. Seperti seorang ibu yang selalu memahami kondisi hati anaknya.
Hingga di suatu senja.
"Tania bisa sama dia sampai sekarng itu karena Tania yang usaha Ma. Tania yang menginginkan itu semua." Tania dan Mama duudk berdua di depan kolam.
"Tania nungguin dia pulang dari rapat organisasi dia Ma sampai malam. Sampai mama nelponin Tania terus. Cuma untuk melihat dia hari itu Ma. Tania masih SMA waktu itu. Tania sampe rela ninggalin acara nonton cuma untuk liat dia. Sampae akhirnya Tania bisa deket Ma. Itu semua Tania yang usaha. Mama tau kan? Tania gak pernah berusaha untuk deket sama cowok sebelumnya. Sampe akhirnya Tania bisa pacaran sama dia."
"Banyak banget Ma....banyak banget yang Tania gak tau tentang dia. Tania baru tau saat kita jadian dan itu pun dari orang lain. Tania kecewa tapi gak sedikitpun Tania benci dia, Tania masih mau bertahan. Kita coba sama-sama benahin Ma." Tangan Tania basah dengan air amta.
"Nasihat Mama tentang kekurangan orang lain yang haru kita mengerti karena kita sesama manusia ciptaan Tuhan yang penuh kekurangan selalu Tania pegang untuk hubungan Tania dengan dia."
"Tapi sekarang Ma... Tania yang gak kuat...Tania yang gak bisa bertahan... Tania capek..Tania gak sanggup..." serak "Tanian tertekan Ma."
"Mungkin ini berlebihan Ma, tapi Tania bener-bener gak sanggup Ma"
"Dia datang Ma dari Belanda, dia langgar janji dia untuk dirinya sendiri, yang Tania tau itu gak pernah dia lakuin seumur hidupnya. Dia berusaha nyelesein masalah ini. Tapi..." Tania lama terisak.
"Tania yang gak bisa Ma..."
"Rasanya sakit Ma, ngelepas dia, ngelepas perasaan Tania. Tania harus sadar kalau ternyata Tania gak sanggup bertahan dengan masalah yang ada, Tania gak bisa jadiin rasa cinta Tania dengan dia sebagai kekuatan. Apa ini karena Tania terlalu sayang sama diri Tania sendiri Ma?"
Mama tersenyum lalu "kamu hanya gak sanggup Tan. Gak sanggup memaksa untuk tidak mencintai lagi."
"Tapi sebenanrya Tania bisa aja betahan Ma, tapi Tania selalu merasa tertekan. Tania...hhhhhh" Tania kehabisan kata-kata menjelaskan yang dia rasakan.
"Kadang kita harus melepaskan sebuah hubungan Tan. Bukan karena rasa cinta yang sudah tidak ada lagi, tapi karena kebersamaan itu merusak hubungan yang lain"
"Tapi Mama bilang gak ada hal buruk yang diciptakan karena cinta"
"Kali ini bukan cinta yang merusaknya tapi kebersamaan itu"
"Kalau kita gak bersama kita sakit Ma, apa itu hal baik yang disebabkan cinta?"
"Kalau begitu serahkan pada waktu"
"Maam" Tania melotot protes. Itu bukan jawab yang dia inginkan. Tania ingin penjelasan mengapa semua meminta perpisahannya dengan Ari. Seseorang yang dengan sempurna memenuhi seluruh hatinya.
"Ada kalanya sesuatu diciptakan untuk datang lalu pergi, sekedar untuk memberi kenangan bukan di genggam. Karena sebesar apapun keingnanmu untuk meraihnya dan secepat apaun kamu berlari mengejarnya, keadaan yang akan mematahkannya. Kebetulan-kebetulan di luar nalar logika yang tiba-tiba mampu menggagalkan semua rencana yang telah tersusun rapi, mutlak tak bisa dihindari. Karena pada saat itu, tangan Tuhan yang sedang mengatur. Apa yang terbaik untuk mu, apa yang kamu butuhkan, bukan apa yang kamu inginkan. Meskipun kamu harus merasakan sakitnya kehilangan"
"Kenangan yang tertinggal itu nyakitin Ma, meskipun sedikit saat-saat aku bersama Ari. Tapi Ari membuat aku merasakan cinta yang aku inginkan."
"Namun bukan yang butuhkan Nak. Bersabarlah. Waktu akan mematahkan sakitmu."
Tani telah membagi sakitnya kepada Mama.
ari-nya gmana?
ReplyDeletetani punya mama, ari?
bikin lanjutannya dong.. :)
nanti yah...setelah keadaan menulis juga membaik..hehehhe
ReplyDelete