Pernah kah merasa saat ingin membeli sesuatu yang kita taksir, entah itu barang, entah itu jasa atau apapun yang haru ditukar dengan nominal uang? Kadang timbul pikiran "ah, kalau aku membelinya di toko sebelah mungkin lebih murah" atau "ah mungkin harganya tak sebesar ini" "ah ini terlalu mahal" atau malah sibuk menaksir harga modalnya hingga mungkin sampai ke modal awal. Wajar saja karena itu semua tentang untung rugi kita sebagai pembeli yang menginginkan kepuasan dengan harga seminimal mungkin. Termasuk pengalaman saya.
Sering kali saya merasa bodoh karena telah membeli barang yang sama dengan si A tapi harga berang si A lebih murah dari harga barang saya. Yah, wajar, karena jika ada harga yang lebih murah dengan barang yang sama serta kualitas juga sama, kenapa tidak pilih yang itu saja?
Tapi menurutku sekarang, setelah lama berpikir dan merenungkan teori ekonomi yang aku dapatkan saat belajar Ekonomi Lingkungan semester 1 yaitu "tidak ada satupun yang gratis didunia ini". Membeli barang di tempat yang nyaman serta memberi kesempatan untuk melihat hal lain, mendapat informasi lain pun harus di bayar, yang penjual masukan sebagai pajak serta hitungan biaya sewa properti yang digunakan. Dan rasa nyaman itu pun di bayar. Sudah jelas sekali bahwa sesuatu yang dibeli di tempat yang lebih nyaman lebih mahal daripada tempat yang "kurang nyaman". Panas, bukin gerah, berdesakan atau lama untuk tawar menawar, belum lagi jarak serta waktu.
Tapi rasa puas mendapat barang yang lebih murah juga sudah cukup menggantikan rasa nyaman dari tempat yang nyaman itu? Yeah, tidak bisa dibilang salah. Ini benar. Karena itu pilihan. Tapi kalau sudah dibeli atau sangat ingin yang ada di depan mata dan nilai uang yang dibutuhkan itu ada dengan tidak mengorbankan kebutuhan lain, why not? Karena semua itu ada nilai. :)
Dan pernah tidak kita berpikir saat ingin memberi sedekah pada anak-anak kecil yang meminta-minta,,atau siapapun yang banyak sekali menengadahkan tangan dipinggri jalan, di lampu merah sebagai pekerjaan sehari-hari. Kadang kita merasa mereka masih bisa berusaha yang lain dengan fisik yang baik. Tapi apakah mencari pekerjaan itu mudah?Dan apakah mereka punya modal untuk itu? Seperti kepintaran? Oke, ini bicara fisik, apakah begitu mudah mencari pekerjaan itu? Dan jika pun sudah didapatkan dan mencoba meminta-minta ternyata mendapat nilai yang lebih atau mungkin sama dengan pekerjaan fisik itu, saya rasa pilihan meminta-minta akan mereka ambil. Saya sering berpikir, bagaimana jika satu keluarga kaya di Negara ini memakmurkan satu keluarga lainnya. Lainnya dan seterusnya, hmmm mungkin seperti dana bergilir. Tanpa perlu selalu protes dengan UU nomor 33 itu. Ah tapi terlalu berangan-angan saya untuk memikirkan ini. Biasanya semakin banyak penghasilan juga semakin banyak kebutuhan. Berat mungkin rasanya untuk berbagi dan meamkmurkan keluarga lain. Yang juga tentu diiringi pembinaan. Oke kembali ke awal. Ketika kita hendak memberi lalu kita berpikir "ah jangan-jangan nanti uangnya untuk minum2" "ah jangan-jangan uangnya untuk berjudi" "ah jangan-jangan dia ini sebenarnya orang kaya" "ah jangan-jangan dia hanya pura-pura saja menderita" "ah jangan-jangan anak kecil ini ada bosnya yang akan menerima uang hasil mengemis" Segala macam pikiran kemana uang yang akan kita berikan itu mengalir. Tapi jawaban seorang dosen ketika aku bertanya tentang hal ini adalah "jangan berpikir kemana uang itu pergi, yang pasti niat mu saat memberi adalah meringankan bebannya". Lama aku berpikir,,, benar juga yah. Lalu kenapa masih ragu memberi?
Aku pernah dimintai uang oleh anak kecil yang kira-kira berumur 7 tahun. Sebelum berpisah kami sempat mengobrol. Aku tanyai kemana uang-uang ini dia gunakan. "Untuk mama" Itu katanya. "Disuruh Mama" Ketika kutanya siapa yang menyuruh kamu nyari uang panas-panas begini?. Ya Tuhan...saat aku berumur seperti anak ini, aku menikmati teduhnya rumah saat siang terik seperti ini. Blajar bersama Mama. Makan disuapin Mama lalu sore bercengkrama dengan Ba'am. Dan anak kecil ini? Ah, aku tau ini bukan hal baru di SINI. "Ngapain sekolah?" saat aku tanay kenapa kamu gak sekolah? Kemudian aku bercerita tentang kehebatan oran gyang bersekolah, yang bisa pergi naik pesawat terbang dan melihat banyak kota yang indah. Dia terdiam. Aku minta dia berhitung, sunguh sembarang angka-angka itu disusunnya. Lima jari menggambarkan tujuh. Sudah! Aku tidak akan membandingkan dengan keadaan aku lagi. Saat aku ajak dia berhitung, panggilan "Ibu" itu keluar samar. Tapi sayang pertemuan itu tidak bisa sebentar. Aku berharap bisa bertemu lagi esok hari, tapi sampai saat ini pun tidak aku temui lagi. Semoga...semoga kamu bisa sekolah ya Ade...bisa berhitung dengan benar, membaca dan menulis serta melumat ilmu-ilmu lainnya. Amin.
Tulisan ini saya pikir tak jelas arahnya. Tapi satu kesimpulan "jangan buat risau hatimu dengan pikiran-pikiran yang keluar dari niat baikmu baik untuk dirimu dan orang lain"
No comments:
Post a Comment