Sebuah potongan cerita
Tania menutup bukunya perlahan, berharap waktu berjalan lebih cepat tanpa dirasa lamanya. Sekali lagi ditatapnya foto kecil disudut meja kerjanya, lalu tersenyum. Sebentar lagi, batinnya.
Pertemuan itu pun terjadi. Dua manusia yang sudah tidak bertemu selama 3 tahun, terpisah karena masalah dalam hidup yang memang selalu ada.
Hanya senyum dan pancaran rasa rindu yang sulit di asingkan lagi saat pertemuan itu terjadi. Sulit memulai kata-kata, padahal awalnya sudah Tania rencanakan akan menceritakan apa saja pada pendengar terbaiknya. Namun semua seakan terpenjara karena sulit untuk percaya ini nyata. Memang tidak ada kesepakatan tapi keduanya telah menerima tidak akan berhubungan lagi, namun hari ini terjadi. Seperti dilemparkan waktu untuk merasa 7 tahun yang lalu saat kasmaran itu memeluk hari-harinya.
Takut untuk berbincang, takut mendengar kembali kenyataan yang sudah terjadi. Biarlah, biar saja diam sebentar, biarkan perasaan ini bebas merasakan apa yang dia mau dulu, jangan berpikir agar tidak tersadar kembali. Berprasangaka baiklah dengan hari ini. Tania membiarkan semua.
Dan itu pun berakhir. Tak terasa begitu sakit, karena sudah membuat kesepakatan dengan hatinya bahwa ini hanya. Biarlah kekuasaan waktu yang membawa ini semua pada muaranya masing-masing. Biarlah untuk saat bahagia itu ada hingga luntur dengan sendirinya. Biarlah, biar kan ini terasa perlahan.
Tania menyingkap lengan bajunya yang panjang untuk melihat jam tangannya. "Sudah lewat 5 menit" batinnya.
"Misi mbaaak" Suara itu Tuhan. Suara yang benar-benar Tania rasakan seperti embun saat mendengarnya. Sekesal apapun dulu, seketika sejuk itu ada ketika suara itu menyentuh gendang telinganya. Dan saat ini, setelah 3 tahun berlalu tanpa suara itu lagi, Tani kembali mendengarnya secara langsung. Mematung Tania membawa pikirannya kembali ke tujuan tahun yang lalu, saat Tani berusaha mencuri-curi mendengar suara pria ini dari kejauhan.
"Aaaaa..pengen ngacak-ngacak. Kangeeeen" Tak berubah, Ari selalu ramah, akrab. Seperti dulu. Tania menatap nanar lirih, tarikan nafasnya terhenti, bibir mungilnya mengatup menahan linangan air dati matanya. Perlahan Tania mencoba tersenyum
"Kamu kenapa nangis? Kamu gak boleh nangis. Tania ku gak boleh nangis, Tania harus selalu ceria."
"Tania ku?" Tania berteriak protes dalam hati. "Bukan bodoh!!!" Merasa akan menjadi sia-sia Tania memutuskan berlari menjauh. Sebelum semua menjadi terlanjur, seangkan keadaan sudah tidak memungkinkan mereka kembali bersama.
Tania menyingkap lengan bajunya yang panjang untuk melihat jam tangannya. "Sudah lewat 5 menit" batinnya.
"Misi mbaaak" Suara itu Tuhan. Suara yang benar-benar Tania rasakan seperti embun saat mendengarnya. Sekesal apapun dulu, seketika sejuk itu ada ketika suara itu menyentuh gendang telinganya. Dan saat ini, setelah 3 tahun berlalu tanpa suara itu lagi, Tani kembali mendengarnya secara langsung. Mematung Tania membawa pikirannya kembali ke tujuan tahun yang lalu, saat Tani berusaha mencuri-curi mendengar suara pria ini dari kejauhan.
"Aaaaa..pengen ngacak-ngacak. Kangeeeen" Tak berubah, Ari selalu ramah, akrab. Seperti dulu. Tania menatap nanar lirih, tarikan nafasnya terhenti, bibir mungilnya mengatup menahan linangan air dati matanya. Perlahan Tania mencoba tersenyum
"Kamu kenapa nangis? Kamu gak boleh nangis. Tania ku gak boleh nangis, Tania harus selalu ceria."
"Tania ku?" Tania berteriak protes dalam hati. "Bukan bodoh!!!" Merasa akan menjadi sia-sia Tania memutuskan berlari menjauh. Sebelum semua menjadi terlanjur, seangkan keadaan sudah tidak memungkinkan mereka kembali bersama.
No comments:
Post a Comment