Masih mengalun bait kesakitan itu, menancap setiap gerak gerik hari. Panas terasa menenggelamkan rindu dan cinta yang membaur dengan nafsu dan benci, semua telah menyatu. Teringat saat kita telanjang bersama, aku mengingat dan menerima mu dengan semua cela yang kau miliki. Kita menyatu bersama cinta dan nafsu, di balut keringat. Dan kini aku berkeringat marah saat mengingatmu.
Dunia telah menarikmu, menghancurkan janjimu, meremukan aku. Di sudut kamar busuk yang panas tergugu aku menangis di tinggalmu yang membenarkan keputusanmu begitu saja, seakan demikian lah cinta yang bisa datang dan pergi begitu saja. Kau jejali aku paham itu, masih logika tak terima itu. Entah sampai kapan.
Ikhlas, terima, entah kalimat kalimat manis macam apa lagi yang sudah mereka jejali dalam tubuhku. Muntah aku dalam tubuh ku menelan itu semua. Tetap tak berguna, perih ini senilai dengan tingginya cinta ku. Membuat tawa sering kali datang bersama air mata. Banyak kalimat baik ku telan untuk obati gemuruh ini, tetap saja datangnya pagi ku sesali.
Kau, yang dapat membuat ku tersenyum walau hanya dengan mengingatmu. Kini menjadi pembunuh , membuat ku terasing dalam keramaian. Meski ku tau, perempaun seperti ku tak sendiri, namun perih tetap tak berkurang. Meski ku yakin aku dapat berdiri sendiri. Kau tetap hadir sebagai pembawa perih.
Ku biarkan semua. Ku biarkan pagi ku sesak, ku biarkan mimpi ku gelap hanya berbayang, ku biarkan mulut ini mengatakan aku selalu baik-baik saja, ku biarkan mata ini tak mampu lagi menangis. Ku biarkan. Tanpa ucapan selamat tinggal aku terus berjalan ke depan.
Bagian menyakitkan ini, yang sayangnya di berikan oleh kau yang ku cintai, telah jadi lirik-lirik hidupku. Telah ku dengarkan, ku lafalkan dan ku hafalkan dan ku biarkan. Hatiku? Tak perlu ada yang tahu sekalipun aku. Biarkan Tuhan yang menyusunnya.
Mengalir begitu saja saat mengingat cerita seorang sahabat.
No comments:
Post a Comment